Minggu, Februari 19, 2012

Room.....215



Air mataku tertahan saat aku ingat bahwa kebahagiaan itu  ada di benak kita; katamu wahai sahabat, aku merasakan aura itu sepertinya kita telah duduk dengan tenang di atas batu di tengah-tengah arus sungai, saat sinar matari sembunyi di rerimbun pohon jati, di belakangnya terdapat gunung yang menghijau, senja yang kita rindukan tak kan lama menghampiri mata kita, meski kita terpejam dan mengheningkan jiwa bersama burung-burung terbang berpulang ke sarangnya, kita dengan setia pada kedamaian dan saling berdekatan.

Gemericik air yang menciumi kaki kita, seolah-olah kita sudah begitu akrab dengan muara kehidupan pedalaman, di mana ada seorang anak menunggang kerbaunya lalu memandikan dengan penuh cinta, sepasang kekerabatan yang indah, setelah hari gelap sang anak kembali pulang membawa kebahagiaan bersama seruling bambu, suaranya adalah nyanyian kudus bersenandung kerinduan, menyambut kebersamaan kita seperti kesetiaan Maria pada Anaknya.

Kemudian malam tiba dan kita menatap langit masih perawan penuh cahaya bintang-bintang yang bertebaran, rembulan masih enggan bersolek di penglihatan kita, sahabat, dan sungguh syahdu kala kita mendengar desis angin menarikan pucuk-pucuk daun jati, mengiringi nyanyian binantang malam yang melodis nan ritmis, kita terhanyut dipelukan harmonisasi alam, kita benar-benar melayang memeluk cerahnya lukisan keabadian.

Kita telah melupakan wajah kota, kita meninggalkan raut kerut persoalan hanya karena perbedaan, karena kita hendak merengkuh kebahagiaan lalu mengabarkan bahwa hasrat kita tanpa kemunafikan, kita selalu yakin jika kita diciptakan atas dasar kebersamaan, saling memandang dengan senyum yang paling indah di antara kita, kita bersaudara dengan hati, kita bergandeng tangan penuh pengertian.

Fajar membangunkan kita dari mimpi-mimpi yang tak pasti, lalu matari melambaikan sinarnya penuh daya semangat pada nafas kita, pada derap langkah kaki kita, sembari tangan kita menyibak air sungai yang bergelombang, dan wajah kita basahi untuk menyegarkan kekalutan kita, mengembalikan pori-pori yang tersumbat karena debu ketakutan, yang seharusnya itu bukan keinginan kita, tapi kita bisa melewatinya penuh pengorbanan.

Dan akhirnya suara-suara pagi mengajak kita kembali, membawa pikiran-pikiran yang cemerlang, bersama langit yang cerah dan silhuet yang memancarkan kebahagiaan dan kesalingterikatan, melangkahlah kita ke rumah kita masing-masing, seperti anak-anak yang usai bermain di kejibak air sungai itu.

 


apalah......jika dikata "kebahagiaan" 216


Air mataku tertahan saat aku ingat bahwa kebahagiaan itu  ada di benak kita; katamu wahai sahabat, aku merasakan aura itu sepertinya kita telah duduk dengan tenang di atas batu di tengah-tengah arus sungai, saat sinar matari sembunyi di rerimbun pohon jati, di belakangnya terdapat gunung yang menghijau, senja yang kita rindukan tak kan lama menghampiri mata kita, meski kita terpejam dan mengheningkan jiwa bersama burung-burung terbang berpulang ke sarangnya, kita dengan setia pada kedamaian dan saling berdekatan.

Gemericik air yang menciumi kaki kita, seolah-olah kita sudah begitu akrab dengan muara kehidupan pedalaman, di mana ada seorang anak menunggang kerbaunya lalu memandikan dengan penuh cinta, sepasang kekerabatan yang indah, setelah hari gelap sang anak kembali pulang membawa kebahagiaan bersama seruling bambu, suaranya adalah nyanyian kudus bersenandung kerinduan, menyambut kebersamaan kita seperti kesetiaan Maria pada Anaknya.

Kemudian malam tiba dan kita menatap langit masih perawan penuh cahaya bintang-bintang yang bertebaran, rembulan masih enggan bersolek di penglihatan kita, sahabat, dan sungguh syahdu kala kita mendengar desis angin menarikan pucuk-pucuk daun jati, mengiringi nyanyian binantang malam yang melodis nan ritmis, kita terhanyut dipelukan harmonisasi alam, kita benar-benar melayang memeluk cerahnya lukisan keabadian.

Kita telah melupakan wajah kota, kita meninggalkan raut kerut persoalan hanya karena perbedaan, karena kita hendak merengkuh kebahagiaan lalu mengabarkan bahwa hasrat kita tanpa kemunafikan, kita selalu yakin jika kita diciptakan atas dasar kebersamaan, saling memandang dengan senyum yang paling indah di antara kita, kita bersaudara dengan hati, kita bergandeng tangan penuh pengertian.

Fajar membangunkan kita dari mimpi-mimpi yang tak pasti, lalu matari melambaikan sinarnya penuh daya semangat pada nafas kita, pada derap langkah kaki kita, sembari tangan kita menyibak air sungai yang bergelombang, dan wajah kita basahi untuk menyegarkan kekalutan kita, mengembalikan pori-pori yang tersumbat karena debu ketakutan, yang seharusnya itu bukan keinginan kita, tapi kita bisa melewatinya penuh pengorbanan.

Dan akhirnya suara-suara pagi mengajak kita kembali, membawa pikiran-pikiran yang cemerlang, bersama langit yang cerah dan silhuet yang memancarkan kebahagiaan dan kesalingterikatan, melangkahlah kita ke rumah kita masing-masing, seperti anak-anak yang usai bermain di kejibak air sungai itu.

 


daftar isi