Jumat, November 16, 2012

Bersalaman dengan Gadis Gila

Hari ini saya menerima surat dari sebuah kota pesisir utara Jawa yang berisi permohonan maaf kepada saya. Tentu saja saya membalasnya dengan kata-kata: "Saya tidak berhak memberi maaf kepada Anda, sebab menurut pengetahuan saya Anda bersalah tidak kepada saya, melainkan kepada Tuhan, kepada gadis gila itu dan kepada diri Anda sendiri."
Meminta maaf kepada diri sendiri bisa ditempuh dengan penginsafan hati dan pembenahan cara berfikir. Memohon ampun kepada Allah bisa dijalankan dengan cara bersujud, shalat sebanyak-banyaknya, kalau perlu puasa dan menyampaikan qurban sebagai semacam ruwatan atau pembersihan diri. Tetapi bagaimana caranya meminta maaf kepada seorang yang dirahmati oleh Allah dengan kegilaan?
Ceritanya, beberapa minggu yang lalu datang ke rumah kontrakan saya tamu-tamu muda anggota suatu kelompok Tarikat. Pakaian mereka necis, rambut klimis, gerak-gerik mereka memenuhi segala konsep kesopanan, dan cahaya wajah mereka bagaikan memancarkan sima'hum fi wujuhihim min atsaris-sujud: ada tanda-tanda bersinar di wajahnya, jejak sujud-sujud rnereka kepada-Nya.
Ada banyak problem dan kepusingan yang sedang menimpa saya seperti juga tiap hari terjadi, tetapi kalau menerima tamu-tamu penuh kemuliaan seperti ini tidak ada lain yang terasa kecuali ketenteraman dan keteduhan.
Ini anak-anak Tariqah! Bayangkanlah. Hampir semua anak muda memperlombakan hedonisme, hura-hura dan menyembah segala jenis materialisasi manusia, tapi anak-anak muda ini tak perlu menanti saat sekarat untuk memilih keabadian ruhani.
Tiba-tiba nongol Si Inur, wanita tamatan SMTA yang oleh semua orang kampung ternpat tinggal saya dianggap sampah karena sinting sesudah ditinggal pacarnya kawin dulu. Lebih dua puluh kali sehari ia datarg dan kami mengobrol. Mungkin karena di rumah saya ia menemukan teman-teman sejawat dan senasib, sehingga bersedia menerimanya dan ngowongke.
Maka saya panggil Si Inur, saya ajak untuk bersalaman dan berkenalan dengan tamu-tamu terhormat saya. Senyum-senyum ia datang sambil satu tangannya mempermainkan helai-helai rambut. Ia menyodorkan tangannya dengan ramah, dan rnendadak saya saksikan tamu-tamu saya kaget, gelagapan dan salah tingkah. Semuanya tidak bersedia menerima uluran tangan Si Inur dan hanya berkata disopan-sopankan: "Sudah, sudah... terima kasih, terima kasih!"
Tahukan Anda bahwa saya sendiri tidak menyangka betapa saya mendadak marah menyaksikan hal itu? Bukan hanya marah, tapi juga meledak-ledak dengan kata-kata amat keras dan terus terang.
Saya amat sangat tersinggung karena tamu-tarnu saya menolak keramahan seorang hamba Allah. Apalagi hamba Allah yang ini berangkat ke alam gila dengan membawa penderitaan hati karena dikhianati cintanya. Sedangkan Allah pun murka kalau kita khianati cinta-Nya!
Apakah tamu-tamu saya ini merasa yakin akan masuk surga dan Si Inur pasti masuk neraka, sehingga tak punya kehormatan setitik pun untuk diterima uluran tangannya? Sedangkan gadis ini sejak beberapa tahun yang lalu telah selamat hidupnya karena segala perbuatannya akan tidak dikalkulasi oleh Allah berkat kegilaannya, sementara tamu-tamu ini rnasih menapakkan kakinya di jalanan licin penuh lumpur dosa-dosa?
Ataukah mereka jijik bila tangannya yang bersih dan wangi harus bersentuhan dengan tangan kumuh kotor si gila? Ahli tarikat anak-anak muda ini, ataukah priyagung-priyagung yang feodal dan suka merendahkan orang kecil?
0, mungkin mereka keberatan salaman karena Si Inur itu wanita yang bukan muhrimnya. Lebih berat manakah takaran antara pahala tidak menyentuh tangan wanita dibanding dosa tidak memelihara bebrayan sosial? Apakah gadis gila ini bagi para ahli tarikat masih seorang wanita? Tinggi benar naluri seksnya!

Minggu, Februari 19, 2012

Room.....215



Air mataku tertahan saat aku ingat bahwa kebahagiaan itu  ada di benak kita; katamu wahai sahabat, aku merasakan aura itu sepertinya kita telah duduk dengan tenang di atas batu di tengah-tengah arus sungai, saat sinar matari sembunyi di rerimbun pohon jati, di belakangnya terdapat gunung yang menghijau, senja yang kita rindukan tak kan lama menghampiri mata kita, meski kita terpejam dan mengheningkan jiwa bersama burung-burung terbang berpulang ke sarangnya, kita dengan setia pada kedamaian dan saling berdekatan.

Gemericik air yang menciumi kaki kita, seolah-olah kita sudah begitu akrab dengan muara kehidupan pedalaman, di mana ada seorang anak menunggang kerbaunya lalu memandikan dengan penuh cinta, sepasang kekerabatan yang indah, setelah hari gelap sang anak kembali pulang membawa kebahagiaan bersama seruling bambu, suaranya adalah nyanyian kudus bersenandung kerinduan, menyambut kebersamaan kita seperti kesetiaan Maria pada Anaknya.

Kemudian malam tiba dan kita menatap langit masih perawan penuh cahaya bintang-bintang yang bertebaran, rembulan masih enggan bersolek di penglihatan kita, sahabat, dan sungguh syahdu kala kita mendengar desis angin menarikan pucuk-pucuk daun jati, mengiringi nyanyian binantang malam yang melodis nan ritmis, kita terhanyut dipelukan harmonisasi alam, kita benar-benar melayang memeluk cerahnya lukisan keabadian.

Kita telah melupakan wajah kota, kita meninggalkan raut kerut persoalan hanya karena perbedaan, karena kita hendak merengkuh kebahagiaan lalu mengabarkan bahwa hasrat kita tanpa kemunafikan, kita selalu yakin jika kita diciptakan atas dasar kebersamaan, saling memandang dengan senyum yang paling indah di antara kita, kita bersaudara dengan hati, kita bergandeng tangan penuh pengertian.

Fajar membangunkan kita dari mimpi-mimpi yang tak pasti, lalu matari melambaikan sinarnya penuh daya semangat pada nafas kita, pada derap langkah kaki kita, sembari tangan kita menyibak air sungai yang bergelombang, dan wajah kita basahi untuk menyegarkan kekalutan kita, mengembalikan pori-pori yang tersumbat karena debu ketakutan, yang seharusnya itu bukan keinginan kita, tapi kita bisa melewatinya penuh pengorbanan.

Dan akhirnya suara-suara pagi mengajak kita kembali, membawa pikiran-pikiran yang cemerlang, bersama langit yang cerah dan silhuet yang memancarkan kebahagiaan dan kesalingterikatan, melangkahlah kita ke rumah kita masing-masing, seperti anak-anak yang usai bermain di kejibak air sungai itu.

 


apalah......jika dikata "kebahagiaan" 216


Air mataku tertahan saat aku ingat bahwa kebahagiaan itu  ada di benak kita; katamu wahai sahabat, aku merasakan aura itu sepertinya kita telah duduk dengan tenang di atas batu di tengah-tengah arus sungai, saat sinar matari sembunyi di rerimbun pohon jati, di belakangnya terdapat gunung yang menghijau, senja yang kita rindukan tak kan lama menghampiri mata kita, meski kita terpejam dan mengheningkan jiwa bersama burung-burung terbang berpulang ke sarangnya, kita dengan setia pada kedamaian dan saling berdekatan.

Gemericik air yang menciumi kaki kita, seolah-olah kita sudah begitu akrab dengan muara kehidupan pedalaman, di mana ada seorang anak menunggang kerbaunya lalu memandikan dengan penuh cinta, sepasang kekerabatan yang indah, setelah hari gelap sang anak kembali pulang membawa kebahagiaan bersama seruling bambu, suaranya adalah nyanyian kudus bersenandung kerinduan, menyambut kebersamaan kita seperti kesetiaan Maria pada Anaknya.

Kemudian malam tiba dan kita menatap langit masih perawan penuh cahaya bintang-bintang yang bertebaran, rembulan masih enggan bersolek di penglihatan kita, sahabat, dan sungguh syahdu kala kita mendengar desis angin menarikan pucuk-pucuk daun jati, mengiringi nyanyian binantang malam yang melodis nan ritmis, kita terhanyut dipelukan harmonisasi alam, kita benar-benar melayang memeluk cerahnya lukisan keabadian.

Kita telah melupakan wajah kota, kita meninggalkan raut kerut persoalan hanya karena perbedaan, karena kita hendak merengkuh kebahagiaan lalu mengabarkan bahwa hasrat kita tanpa kemunafikan, kita selalu yakin jika kita diciptakan atas dasar kebersamaan, saling memandang dengan senyum yang paling indah di antara kita, kita bersaudara dengan hati, kita bergandeng tangan penuh pengertian.

Fajar membangunkan kita dari mimpi-mimpi yang tak pasti, lalu matari melambaikan sinarnya penuh daya semangat pada nafas kita, pada derap langkah kaki kita, sembari tangan kita menyibak air sungai yang bergelombang, dan wajah kita basahi untuk menyegarkan kekalutan kita, mengembalikan pori-pori yang tersumbat karena debu ketakutan, yang seharusnya itu bukan keinginan kita, tapi kita bisa melewatinya penuh pengorbanan.

Dan akhirnya suara-suara pagi mengajak kita kembali, membawa pikiran-pikiran yang cemerlang, bersama langit yang cerah dan silhuet yang memancarkan kebahagiaan dan kesalingterikatan, melangkahlah kita ke rumah kita masing-masing, seperti anak-anak yang usai bermain di kejibak air sungai itu.

 


daftar isi